BERTANI LESTARI DI LAHAN PASIR
Bayangan akan lahan pesisir yang hanya berupa gundukan pasir disana-sini itu kini musnah. Aneka tanaman loncang, bayam, cabai, kacang panjang, semangka, melon, pepaya, roselle, buah naga, dan banyak lagi jenis lainnya merupakan hamparan hijau yang sangat menakjubkan di tanah pesisir Kulon Progo. Ribuan petani dan buruh tani perempuan serta laki-laki hilir mudik dari pagi hingga senja mengais rejeki dari mengolah tanah hingga memanen hasilnya. Mereka tak hanya masyarakat setempat tetapi juga dari wilayah sekitar bahkan dari Wonosobo dan temanggung. Sehari-hari menginap di rumah penduduk setempat dan berbaur menyatu memayu hayuning bawana pada kawasan pesisir tersebut. Sayangnya bayang-bayang akan disingkirkan oleh perusahaan tambang pasir besi yang mulai beroperasi itu kini selalu menghantui.
Bayangan akan lahan pesisir yang hanya berupa gundukan pasir disana-sini itu kini musnah. Aneka tanaman loncang, bayam, cabai, kacang panjang, semangka, melon, pepaya, roselle, buah naga, dan banyak lagi jenis lainnya merupakan hamparan hijau yang sangat menakjubkan di tanah pesisir Kulon Progo. Ribuan petani dan buruh tani perempuan serta laki-laki hilir mudik dari pagi hingga senja mengais rejeki dari mengolah tanah hingga memanen hasilnya. Mereka tak hanya masyarakat setempat tetapi juga dari wilayah sekitar bahkan dari Wonosobo dan temanggung. Sehari-hari menginap di rumah penduduk setempat dan berbaur menyatu memayu hayuning bawana pada kawasan pesisir tersebut. Sayangnya bayang-bayang akan disingkirkan oleh perusahaan tambang pasir besi yang mulai beroperasi itu kini selalu menghantui.
Lahan pantai
wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan kawasan dengan tanah pasiran yang
sebelum diolah berupa semak belukar atau terbuka sama sekali dengan beberapa
kelompok pepohonan akasia, glerisidia dan kelapa. Biasanya para petani membuka
lahan yang penuh semak tersebut dengan cara menebas dan mencabuti aneka tanaman
yang tumbuh untuk kemudian dikumpulkan di tepi petak lahan untuk sebagian
dibawa pulang menjadi pakan ternak dan yang lain dibiarkan kering dan
dimanfaatkan kembali untuk kompos dan bahan bakar. Setelah lahan hamparan
bersih, keluarga petani mulai membajak lahan dengan alat bajak yang ditarik
ternak atau tenaga manusia. Kini mesin bajak sudah mulai banyak digunakan pada
kawasan pesisir tersebut. Setelah dibajak maka langsung ditebari pupuk kandang
sesuai dengan alur lahan untuk penanaman.
”Tanpa pupuk kandang maka tanaman tak akan tumbuh atau
tumbuhnya tidak baik,”, begitu biasanya para petani menjelaskan kepada
orang-orang yang berkunjung ke lahan mereka.
Pupuk kandang sangat dibutuhkan untuk menjaga kelembaban tanah, sebagai
makanan bagi tanaman, menyimpan air lebih lama dan menjaga kesuburan tanah pasiran. Kebutuhan pupuk kandang ini
dipenuhi dari kotoran ternak yang dipelihara oleh para petani setempat dan
kiriman dari daerah lain. Semakin banyak ternak dipelihara akan menghasilkan
pupuk organik yang semakin banak pula sehingga mengurangi biaya belanja pupuk
kandang. Pemberian pupuk kandang pada lahan pesisir dilakukan pada awal tanam
dan ketika tanaman sudah menjelang panen atau ketika kelihatan pertumbuhannya
kurang bagus. Dalam keadaan harga cabai yang baik, pemberian dapat
berulang-ulang untuk menjaga agar tanaman cabai dapat berproduksi terus dan
tanah tetap subur. Hingga saat ini, dengan pemupukan yang bagus sudah ada
petani cabai yang dapat panen hingga 35 kali petik.
Volume pupuk kandang yang diberikan ke
lahan sangat dipengaruhi oleh jenis-jenis tanaman yang akan dibudidayakan,
luasan lahan, posisi terbuka dan tidaknya lahan, kesuburan tanah dan kesiapan
anggaran ketika pengadaan pupuk kandang harus dari luar, sehingga secara teknis
tidak dapat diseragamkan. Hampir semua petani pada lahan pesisir menggunakan
pupuk cair sebagai pupuk tambahan atau pelengkap ketika tanaman sudah tumbuh.
Pupuk kandang yang didatangkan dari luar, baik yang sudah
jadi kompos maupun yang belum jadi, biasanya ditempatkan dibawah bangunan atap
sederhana ataupun hanya dibawah pohon di pinggir jalan pada bagian tepi petak
lahan sebagai persediaan pupuk. Tak jarang kita jumpai aroma busuk pupuk
kandang dari kotoran ayam, kotoran sapi dan kotoran burung puyuh yang belum
jadi kompos pada kawasan pertanian lahan pesisir tersebut. Sebagian besar
petani setempat menganggap hal tersebut wajar dan sudah biasa sehingga tidak
perlu dipermasalahkan, tetapi beberapa warga masyarakat yang lain menyayangkan
hal ini karena menyayangkan hilangnya beberapa unsur makanan yang mudah menguap
dan dikhawatirkan mengganggu kesehatan paru-paru orang yang lewat di dekat
tumpukan kotoran ternak yang biasanya berada di tepi jalan pertanian. Beberapa
petani yang menyadari hal tersebut biasanya menutupnya dengan plastik atau daun
kelapa yang disusun rapat setelah disiram larutan bakteri dan air gula sebagai
pemercepat pengomposan yang sudah dapat mereka produksi sendiri. Sayangnya
praktek pengomposan di lahan ini baru dikuasahi dan diterapkan oleh sebagian
kecil petani saja.
Lahan pantai memiliki kondisi suhu dan kekuatan angin
yang lebih tinggi dari lahan surjan sehingga hal tersebut akan mempercepat penguapan
air atau larutan pupuk cair yang disemprot atau disiramkan ke tanaman. Untuk
menanggulangi hal itu maka para petani menyirami tanaman lebih sering
dibandingkan pengelolaan jenis tanaman yang sama pada lahan surjan. Petani juga
membuat pagar pemecah atau penghalang angin yang terdiri atas berbagai jenis
tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi panas dan angin kencang, seperti
kelor (Moringa citrifolia) dan
kreresede (Gliricidia sipeum), dipadu
dengan potongan tangkai daun kelapa yang disusun tegak dan rapat mengelilingi
petak lahan. Antar pelepah daun kelapa tersebut dihubungkan dengan bambu yang
membujur mengelilingi petak lahan yang diikatkan pada pagar hidup yang sudah
tumbuh kuat. Untuk lebih memperkuat lagi maka pada pagar tersebut dirambatkan berbagai jenis tanaman yang mampu
memanjat dan menjalar di pagar seperti gambas, timun, markisa, pare dan waluh.
Sistem pemagaran seperti ini selain berfungsi memecah angin dari arah laut,
juga menambah hasil produksi pertanian lahan pantai dari berbagai jenis tanaman
yang tumbuh di pagar tersebut. Sebuah model pagar produktif yang
mengkombinasikan tanaman tahunan dengan tanaman musiman penghasil pangan
sehari-hari.
Dimulai dengan sekedar memanfaatkannya pada musim
penghujan dengan aneka tanaman kacang-kacangan, para petani mulai membuat sumur
bronjong (sumur galian pada lahan
pasir yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang rapat untuk mencegah
longsor atau dibungkus lapisan sak plastik mengelilingi anyaman bambu pada
bagian luar). Pengambilan air pada awalnya hanya menggunakan ’kerekan’ atau
timba yang terbuat dari ember diikat tali, yang disambungkan dengan salah satu
ujung potongan bambu untuk pemikul. Untuk mengefektifkan proses penyiraman
lahan, dalam satuan lahan yang cukup luas diadakan sumur-sumur yang lebih banyak dan merata. Sumur bronjong ini biasanya
hanya mampu bertahan 3-4 tahun karena kondisi anyaman bambu yang tidak terendam
sudah mulai busuk atau keropos sehingga harus diganti dengan menggali sumur
lagi. Hal ini drasakan menjadi sebuah pemborosan yang berulang-ulang dengan
pembuatan sumur yang banyak tersebut.
Beberapa petani kemudian berinisiatif mengganti sumur
berdinding bambu tersebut dengan bus beton agar dapat dipakai lebih lama.
Penggunaan sumur bus beton tersebut berlangsung hingga saat ini. Membuat sumur
bis beton dalam jumlah banyak berarti pemborosan juga sehingga menginspirasi
munculnya ’sumur renteng’ atau bak berderet-deret dimana satu sumur berfungsi bak penampung pertama, disambungkan
beberapa bak penampung air yang lain seperti membentuk alur berderet dengan
menggunakan pipa pralon sebagai jalannya air. Dengan cara ini akan mengurangi
tenaga dan waktu penyiraman. Pada akhirnya setiap keluarga petani yang membuka lahan kawasan pesisir akan langsung
menerapkan sistim sumur renteng tersebut.
Dalam pengairan atau penyiraman tanaman menggunakan
sistem sumur renteng atau bak renteng, proses penyiraman dimulai dengan menimba
air atau menyedot air sumur dengan mesin pompa air yang dialirkan ke bak air terdekat
dengan sumur. Dari bak air pertama/ terdekat ini, air akan mengalir ke semua
bak melalui pipa pralon penghubung antar bak hingga sluruh bak terisi cukup
air. Dari bak terdekat dengan tanaman inilah kemudian air diambil untuk
disiramkan ke tanaman sekitarnya.
Membuat banyak bak penampung air inipun kemudian
dipandang masih dapat diefisienkan dengan mengganti fungsi bak penampung air
dengan kran yang dapat dibuka tutup dan disambung selang yang menjangkau
tanaman. Untuk memberikan tenaga semprot yang lebih baik, bak penampung air
yang dibuat dekat sumur ditinggikan dua sampai empat meter.
Cara inipun dipandang kurang efisien karena air yang masuk bak lebih cepat dibanding dengan air keluar bak sehingga harus mematikan mesin dan menghidupkan lagi ketika air bak sudah kosong, artinya petani harus menunggu penuhnya bak air.
Cara inipun dipandang kurang efisien karena air yang masuk bak lebih cepat dibanding dengan air keluar bak sehingga harus mematikan mesin dan menghidupkan lagi ketika air bak sudah kosong, artinya petani harus menunggu penuhnya bak air.
Perkembangan
terkini dari teknologi pengairan sumur renteng adalah dengan membuat sumur
suntik dimana pralon besar ditanam dalam tanah pasir sedalam 4-8 meter. Airnya
disedot dengan mesin pompa, disambung ke pralon yang terhubung pada semua kran,
dan pada ujung pralon terdapat pralon yang ditanam tanah dengan ketinggian
sekitar 3 meter untuk membuang air ketika petani menggunakan waktu untuk
memindah posisi pangkal selang siram ke kran air yang lain. Dengan cara ini
maka semprotan air akan lebih kuat dan tidak perlu mematikan mesin hingga
penyiraman selesai.
Menyiram tanaman merupakan pekerjaan sehari-hari pada
petani kawasan pesisir ketika lahan sudah berisi tanaman budidaya. Pekerjaan
ini dilakukan dari pagi hingga sore hari sesuai luas lahan dan tenaga yang
mengerjakan, serta kekuatan mesin pompa airnya. Ketika ada kematian warga
masyarakat, petani sekitar lokasi kematian ada yang menggantikan waktu kerja
menyiram pada siang hari menjadi malam hari karena waktu siang hari digunakan
untuk mengikuti acara kematian tersebut. Hal ini biasa terjadi pada keluarga
tani yang memiliki lahan luas dan biasanya penyiraman tanaman sehari-hari
menggunakan jasa para tetangganya yang ketika ada kematian juga harus mengikuti
keseluruhan acara prosesi kematian.
Ketika belum ada mesin pompa air yang kuat, kadangkala petani melakukan
penyiraman di malam hari ketika terang bulan demi menghemat waktu siram pada siang
harinya.
Kini tidak ada lagi warga petani yang menyiram lahan
mereka pada malam hari kecuali hanya karena acara kematian saja. Selain sarana
pengairan yang sudah lebih baik, pernah pula merebak isu munculnya makhluk
halus ketika petani sedang menyiram di malam hari tersebut. Bahkan orang yang melakukan hal tersebut dinilai
secara sinis oleh petani yang lain sebagai ’kurang pekerjaan’ atau memaksa
diri.
Dalam diskusi dengan petani dan pelaku pariwisata di
Yogyakarta, sempat disinggung kemungkinan menghidupkan lagi acara menyiram
tanaman ketika bulan purnama sebagai salah satu aktivitas pariwisata eksklusif.
Bisa saja acara tersebut dikembangkan dengan kegiatan makan malam dan bakar
ikan atau bakar jagung pada hamparan lahan pertanian pesisir Kulon Progo yang
bersih, tidak bau, serta dekat pasar ikan laut tersebut sambil menikmati
deburan ombak pantai selatan.
Ciri khas model bertani dari para petani setempat yang mengunggulkan dominasi tanaman sayur-sayuran dan palawija, kini mulai mervariasi dengan munculnya model pengelolaan lahan yang mengunggulkan tanaman buah-buahan seperti melon, jeruk, pepaya dan buah naga.
SURJAN dan WANATANI PESISIRAN
Bima
Widjajaputra – JOGJAKARTA 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar