MENU

INCON Technology – leading inovatory agrotechnology for food, nature and humanitarian response.

| CV.INCON | PRODUK | PEMESANAN | ARTIKEL | DASAR TEKNOLOGI INCON | GUGUSAN MIMPI | MITRA KAMI | WISATA

Sabtu, 01 November 2014

EMAS HIJAU MEMBANJIR DARI KAWASAN PESISIR

BERTANI LESTARI DI LAHAN PASIR 

Bayangan akan lahan pesisir yang hanya berupa gundukan pasir disana-sini itu kini musnah. Aneka tanaman loncang, bayam, cabai, kacang panjang, semangka, melon, pepaya, roselle, buah naga, dan banyak lagi jenis lainnya merupakan hamparan hijau yang sangat menakjubkan di tanah pesisir Kulon Progo. Ribuan petani dan buruh tani perempuan serta laki-laki hilir mudik dari pagi hingga senja mengais rejeki dari mengolah tanah hingga memanen hasilnya. Mereka tak hanya masyarakat setempat tetapi juga dari wilayah sekitar bahkan dari Wonosobo dan temanggung. Sehari-hari menginap di rumah penduduk setempat dan berbaur menyatu memayu hayuning bawana pada kawasan pesisir tersebut. Sayangnya bayang-bayang akan disingkirkan oleh perusahaan tambang pasir besi yang mulai beroperasi itu kini selalu menghantui. 


 Lahan pantai wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan kawasan dengan tanah pasiran yang sebelum diolah berupa semak belukar atau terbuka sama sekali dengan beberapa kelompok pepohonan akasia, glerisidia dan kelapa. Biasanya para petani membuka lahan yang penuh semak tersebut dengan cara menebas dan mencabuti aneka tanaman yang tumbuh untuk kemudian dikumpulkan di tepi petak lahan untuk sebagian dibawa pulang menjadi pakan ternak dan yang lain dibiarkan kering dan dimanfaatkan kembali untuk kompos dan bahan bakar. Setelah lahan hamparan bersih, keluarga petani mulai membajak lahan dengan alat bajak yang ditarik ternak atau tenaga manusia. Kini mesin bajak sudah mulai banyak digunakan pada kawasan pesisir tersebut. Setelah dibajak maka langsung ditebari pupuk kandang sesuai dengan alur lahan untuk penanaman.

”Tanpa pupuk kandang maka tanaman tak akan tumbuh atau tumbuhnya tidak baik,”, begitu biasanya para petani menjelaskan kepada orang-orang yang berkunjung ke lahan mereka.  Pupuk kandang sangat dibutuhkan untuk menjaga kelembaban tanah, sebagai makanan bagi tanaman, menyimpan air lebih lama dan menjaga kesuburan  tanah pasiran. Kebutuhan pupuk kandang ini dipenuhi dari kotoran ternak yang dipelihara oleh para petani setempat dan kiriman dari daerah lain. Semakin banyak ternak dipelihara akan menghasilkan pupuk organik yang semakin banak pula sehingga mengurangi biaya belanja pupuk kandang. Pemberian pupuk kandang pada lahan pesisir dilakukan pada awal tanam dan ketika tanaman sudah menjelang panen atau ketika kelihatan pertumbuhannya kurang bagus. Dalam keadaan harga cabai yang baik, pemberian dapat berulang-ulang untuk menjaga agar tanaman cabai dapat berproduksi terus dan tanah tetap subur. Hingga saat ini, dengan pemupukan yang bagus sudah ada petani cabai yang dapat panen hingga 35 kali petik.

Volume pupuk kandang yang diberikan ke lahan sangat dipengaruhi oleh jenis-jenis tanaman yang akan dibudidayakan, luasan lahan, posisi terbuka dan tidaknya lahan, kesuburan tanah dan kesiapan anggaran ketika pengadaan pupuk kandang harus dari luar, sehingga secara teknis tidak dapat diseragamkan. Hampir semua petani pada lahan pesisir menggunakan pupuk cair sebagai pupuk tambahan atau pelengkap ketika tanaman sudah tumbuh.

Pupuk kandang yang didatangkan dari luar, baik yang sudah jadi kompos maupun yang belum jadi, biasanya ditempatkan dibawah bangunan atap sederhana ataupun hanya dibawah pohon di pinggir jalan pada bagian tepi petak lahan sebagai persediaan pupuk. Tak jarang kita jumpai aroma busuk pupuk kandang dari kotoran ayam, kotoran sapi dan kotoran burung puyuh yang belum jadi kompos pada kawasan pertanian lahan pesisir tersebut. Sebagian besar petani setempat menganggap hal tersebut wajar dan sudah biasa sehingga tidak perlu dipermasalahkan, tetapi beberapa warga masyarakat yang lain menyayangkan hal ini karena menyayangkan hilangnya beberapa unsur makanan yang mudah menguap dan dikhawatirkan mengganggu kesehatan paru-paru orang yang lewat di dekat tumpukan kotoran ternak yang biasanya berada di tepi jalan pertanian. Beberapa petani yang menyadari hal tersebut biasanya menutupnya dengan plastik atau daun kelapa yang disusun rapat setelah disiram larutan bakteri dan air gula sebagai pemercepat pengomposan yang sudah dapat mereka produksi sendiri. Sayangnya praktek pengomposan di lahan ini baru dikuasahi dan diterapkan oleh sebagian kecil petani saja.

Lahan pantai memiliki kondisi suhu dan kekuatan angin yang lebih tinggi dari lahan surjan sehingga hal tersebut akan mempercepat penguapan air atau larutan pupuk cair yang disemprot atau disiramkan ke tanaman. Untuk menanggulangi hal itu maka para petani menyirami tanaman lebih sering dibandingkan pengelolaan jenis tanaman yang sama pada lahan surjan. Petani juga membuat pagar pemecah atau penghalang angin yang terdiri atas berbagai jenis tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi panas dan angin kencang, seperti kelor (Moringa citrifolia) dan kreresede (Gliricidia sipeum), dipadu dengan potongan tangkai daun kelapa yang disusun tegak dan rapat mengelilingi petak lahan. Antar pelepah daun kelapa tersebut dihubungkan dengan bambu yang membujur mengelilingi petak lahan yang diikatkan pada pagar hidup yang sudah tumbuh kuat. Untuk lebih memperkuat lagi maka pada pagar tersebut  dirambatkan berbagai jenis tanaman yang mampu memanjat dan menjalar di pagar seperti gambas, timun, markisa, pare dan waluh. Sistem pemagaran seperti ini selain berfungsi memecah angin dari arah laut, juga menambah hasil produksi pertanian lahan pantai dari berbagai jenis tanaman yang tumbuh di pagar tersebut. Sebuah model pagar produktif yang mengkombinasikan tanaman tahunan dengan tanaman musiman penghasil pangan sehari-hari.
Dimulai dengan sekedar memanfaatkannya pada musim penghujan dengan aneka tanaman kacang-kacangan, para petani mulai membuat sumur bronjong (sumur galian pada lahan pasir yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang rapat untuk mencegah longsor atau dibungkus lapisan sak plastik mengelilingi anyaman bambu pada bagian luar). Pengambilan air pada awalnya hanya menggunakan ’kerekan’ atau timba yang terbuat dari ember diikat tali, yang disambungkan dengan salah satu ujung potongan bambu untuk pemikul. Untuk mengefektifkan proses penyiraman lahan, dalam satuan lahan yang cukup luas diadakan sumur-sumur yang  lebih banyak dan merata. Sumur bronjong ini biasanya hanya mampu bertahan 3-4 tahun karena kondisi anyaman bambu yang tidak terendam sudah mulai busuk atau keropos sehingga harus diganti dengan menggali sumur lagi. Hal ini drasakan menjadi sebuah pemborosan yang berulang-ulang dengan pembuatan sumur yang banyak tersebut.
Beberapa petani kemudian berinisiatif mengganti sumur berdinding bambu tersebut dengan bus beton agar dapat dipakai lebih lama. Penggunaan sumur bus beton tersebut berlangsung hingga saat ini. Membuat sumur bis beton dalam jumlah banyak berarti pemborosan juga sehingga menginspirasi munculnya ’sumur renteng’ atau bak berderet-deret dimana satu sumur  berfungsi bak penampung pertama, disambungkan beberapa bak penampung air yang lain seperti membentuk alur berderet dengan menggunakan pipa pralon sebagai jalannya air. Dengan cara ini akan mengurangi tenaga dan waktu penyiraman. Pada akhirnya setiap keluarga petani yang  membuka lahan kawasan pesisir akan langsung menerapkan sistim sumur renteng tersebut.
Dalam pengairan atau penyiraman tanaman menggunakan sistem sumur renteng atau bak renteng, proses penyiraman dimulai dengan menimba air atau menyedot air sumur dengan mesin pompa air yang dialirkan ke bak air terdekat dengan sumur. Dari bak air pertama/ terdekat ini, air akan mengalir ke semua bak melalui pipa pralon penghubung antar bak hingga sluruh bak terisi cukup air. Dari bak terdekat dengan tanaman inilah kemudian air diambil untuk disiramkan ke tanaman sekitarnya.
Membuat banyak bak penampung air inipun kemudian dipandang masih dapat diefisienkan dengan mengganti fungsi bak penampung air dengan kran yang dapat dibuka tutup dan disambung selang yang menjangkau tanaman. Untuk memberikan tenaga semprot yang lebih baik, bak penampung air yang dibuat dekat sumur ditinggikan dua sampai empat meter.

Cara inipun dipandang kurang efisien karena air yang masuk bak lebih cepat dibanding dengan air keluar bak sehingga harus mematikan mesin dan menghidupkan lagi ketika air bak sudah kosong, artinya petani harus menunggu penuhnya bak air.
Perkembangan terkini dari teknologi pengairan sumur renteng adalah dengan membuat sumur suntik dimana pralon besar ditanam dalam tanah pasir sedalam 4-8 meter. Airnya disedot dengan mesin pompa, disambung ke pralon yang terhubung pada semua kran, dan pada ujung pralon terdapat pralon yang ditanam tanah dengan ketinggian sekitar 3 meter untuk membuang air ketika petani menggunakan waktu untuk memindah posisi pangkal selang siram ke kran air yang lain. Dengan cara ini maka semprotan air akan lebih kuat dan tidak perlu mematikan mesin hingga penyiraman selesai.
Menyiram tanaman merupakan pekerjaan sehari-hari pada petani kawasan pesisir ketika lahan sudah berisi tanaman budidaya. Pekerjaan ini dilakukan dari pagi hingga sore hari sesuai luas lahan dan tenaga yang mengerjakan, serta kekuatan mesin pompa airnya. Ketika ada kematian warga masyarakat, petani sekitar lokasi kematian ada yang menggantikan waktu kerja menyiram pada siang hari menjadi malam hari karena waktu siang hari digunakan untuk mengikuti acara kematian tersebut. Hal ini biasa terjadi pada keluarga tani yang memiliki lahan luas dan biasanya penyiraman tanaman sehari-hari menggunakan jasa para tetangganya yang ketika ada kematian juga harus mengikuti keseluruhan acara prosesi kematian.  Ketika belum ada mesin pompa air yang kuat, kadangkala petani melakukan penyiraman di malam hari ketika terang bulan demi menghemat waktu siram pada siang harinya.
Kini tidak ada lagi warga petani yang menyiram lahan mereka pada malam hari kecuali hanya karena acara kematian saja. Selain sarana pengairan yang sudah lebih baik, pernah pula merebak isu munculnya makhluk halus ketika petani sedang menyiram di malam hari tersebut. Bahkan  orang yang melakukan hal tersebut dinilai secara sinis oleh petani yang lain sebagai ’kurang pekerjaan’ atau memaksa diri.
Dalam diskusi dengan petani dan pelaku pariwisata di Yogyakarta, sempat disinggung kemungkinan menghidupkan lagi acara menyiram tanaman ketika bulan purnama sebagai salah satu aktivitas pariwisata eksklusif. Bisa saja acara tersebut dikembangkan dengan kegiatan makan malam dan bakar ikan atau bakar jagung pada hamparan lahan pertanian pesisir Kulon Progo yang bersih, tidak bau, serta dekat pasar ikan laut tersebut sambil menikmati deburan ombak pantai selatan.

Ciri khas model bertani dari para petani setempat yang mengunggulkan dominasi tanaman sayur-sayuran dan palawija, kini mulai mervariasi dengan munculnya model pengelolaan lahan yang mengunggulkan tanaman buah-buahan seperti melon, jeruk, pepaya dan buah naga. 







Diambil dari buku:
SURJAN dan WANATANI PESISIRAN
 Bima Widjajaputra – JOGJAKARTA 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar